Atarimae!

Sejak dulu saya tidak pernah percaya ada cinta yang tak harus memiliki. Buat saya, cinta itu ibarat sungai, semakin dalam, maka semakin deras alirannya. Begitu juga dengan cinta, semakin hari semakin ingin bertemu, semakin dalam semakin derasnya terasa cinta itu hingga tak kuasa hati ini membendungnya. Maka tak ada jalan lain selain memilikinya, mencurahkan semua cinta itu padanya, sang tambatan hati.

Dialah Ega Dioni Putri, cewek yang cuek tapi manja, keras kepala tapi cukup peka, ceroboh tapi detil dan teliti. Dibilang cantik.. relatif sih, dibilang pinter dan soleh juga relatif. Walaupun plusminus-nya begitu rumit dan sulit dihitung, toh tidak butuh waktu lama sejak pertama kali saya ungkapkan rasa suka padanya, hingga saya meyakini, bismillah dialah partner hidup yang terbaik untuk saya dunia akhirat.

Namun jalan menuju pernikahan kami kebetulan kurang mulus. Ditentang habis-habisan oleh Ibu yang menganggap saya belum cukup umur, membuat saya sempat terjepit di antara dua kewajiban: berbakti pada Ibu, berbakti pada Ibu, berbakti pada Ibu, atau bersegera menunaikan janji pernikahan. 2 kali lebaran saya gagal mendapat restu, hingga konflik batin antara saya dan Ibu pun memuncak. Namun saya tetap percaya niat yang baik pasti akan diberi jalan, hingga akhirnya mukjizat itu datang di tahun ini. Ibu pun memberikan restunya, sebuah karunia terbesar dalam hidup saya.

Sebelumnya, saya tidak pernah mengucapkan “selamat menempuh hidup baru” buat pasangan yang baru menikah. “Atarimae!”, pikir saya, istilah orang Jepang untuk menggambarkan fenomena yang sangat lumrah terjadi, jadi tidak penting untuk dibahas. Di bayangan saya, “hidup baru” adalah tidur bersama, bangun bersama, makan bersama, juga jalan-jalan bersama. Jadi yang dulunya 1, tinggal dikali 2: stok makanan, stok di lemari baju, tagihan listrik, air, tiket kereta, pesawat ujung-ujungnya ya duit pengeluaran harus dikali dua.

Tapi hebatnya, banyak hal yang saya alami tidak sesuai dengan hukum dikali 2. Jangan-jangan inilah “Hidup Baru” yang sebenarnya. Pertama, memang benar nikah itu enaknya cuma sepertiga. Karena sisanya ueeeenak tueeenan (sensor). Kedua, ladang untuk beramal ibadah tambah luas berkali-kali lipat (ini juga sebagian kena sensor), rejeki pun berdatangan dari tempat yang tidak terduga-duga.

Dan ketiga, ini yang paling penting: tidak ada lagi yang namanya Ega, atau Aisar. Karena mulai saat ini yang ada hanya “Ega dan Aisar”, satu dalam satu kesatuan. Sehingga yang namanya sikap saling menghargai, saling mengerti, dan saling terbuka tidak penting lagi untuk dibahas, Atarimae! Saya pikir inilah esensi terbesar dalam pernikahan, sisanya akan kita hadapi bersama. Sekian

20120930-121530.jpg

Mengerti

Hari ini aku belajar, tentang salah satu hal tersulit dalam menjalin hubungan : berusaha mengerti, sebelum dimengerti

Laki-laki punya kecenderungan untuk memaksakan kehendak. Laki-laki merasa hebat jika perempuan takluk, tunduk, dan menuruti keinginannya. Laki-laki merasa berwibawa jika semua yang dikatakannya, semua yang diperintahkannya, mendapati prioritas lebih tinggi dari apa yang perempuan utarakan, apa yang  perempuan pertimbangkan.

Laki-laki menganggap ia telah memberikan semua yang terbaik untuk perempuan, dan sebagai balasannya, perempuan harus memberikan yang terbaik untuknya. Perempuan harus mengamini kata-kata dan argumennya, bagaikan firman yang turun dari langit tanpa boleh diperdebatkan. Perempuan harus selalu bisa meluangkan waktu untuknya, karena apa lagi yang lebih penting di muka bumi ini ketimbang bersamanya.

Pemikiran tersebut tanpa disadari mendorong laki-laki sulit, bahkan tidak mau, mengerti perempuan. Boro-boro memahami pemikirannya. Tertarik mendengarkan pendapatnya pun tidak, ketika perempuan menunjukkan tanda-tanda yang berseberangan dengan keinginan laki-laki.

Berusaha mengerti memang sulit, sesulit menerima kekalahan. Kita belum sukses mengerti kemauannya, jika kita masih merasa menang dalam suatu perdebatan atau pertengkaran kecil. Mengerti adalah menginjak-injak keangkuhan diri kita, mengubur hidup-hidup emosi dan egoisme kita, bahkan melepaskan sejenak jubah harga diri kita. Walaupun ternyata mengerti itu semudah mengucapkan : “oke, kali ini memang kamu yang benar”

Mengerti adalah satu-satunya jalan untuk lebih dimengerti. Seperti menabung di bank, semakin banyak yang kita simpan, semakin banyak pula yang dapat kita ambil. Semakin banyak kita berusaha mengerti, semakin banyak pula kita akan lebih dimengerti olehnya.

Cinta, Nafsu, dan S*ks

Pertanyaan : “Apa bedanya cinta ma nafsu?”

Jawaban : (dari berbagai sumber)

  • “Gw rasa cinta ma nafsu tu sama. ujung-ujungnya nge-s*ks juga. Cinta tu emang ga jauh-jauh dari selangkangan”
  • “gue cm mo jawab…. klo gw lagi nafsu gw pasti cari pelarian buat s*ks…. tapi klo gw lagi jatuh cinta… gw ga’ akan bisa ngelakuin yg namanya S*KS”
  • “Bagi seorang pria muncul awal adalah nafsu baru kemudian cinta. Sedangkan seorang wanita muncul awal adalah cinta baru nafsu.”
  • “hati-hati non cinta n’ nafsu tuh beda tipis banget. kalo s*ks karena nafsu selain timbul karena bisikan syetan, setelah melakukannya akan terselip rasa penyesalan dan dosa dlm nuraninya. tapi kalo s*ks karena cinta selain karena ibadah biar dapet pahala (karna udah suami istri) ada rasa bahagia dan semakin mempererat rasa sayang diantara keduanya.”
  • “Whatever they say…one thing for sure, love and lust cannot go on without s*x…”
  • “jika anda sudah menikah, maka s*ks adalah cinta. tapi jika anda belum menikah maka s*ks adalah nafsu.”

* * *

Aku lagi jenuh aja dari kemarin-kemarin ngeluarin tulisan yang serius-serius mulu. Mana komentar-komentar yang dateng juga ga kalah serius -_-“.

Ngomongin tentang cinta emang ga ada abisnya. Ga keitung udah berapa banyak judul novel, film, lagu, puisi, pidato, bahkan guyonan, ludruk, de el el yang berusaha mengupas “misteri” di balik cinta.

Hubungan antara cinta, nafsu, dan s*ks memang menarik. Jika antara ketiganya tidak ada relasi yang erat, mustahil muncul istilah “making love”, atau “bercinta”, yang konotasinya kurang lebih menggambarkan keterkaitan tersebut. Kemudian dari keterkaitan tersebut muncullah banyak pertanyaan di benak kita :
“Apakah cinta berawal dari nafsu, atau nafsu ditimbulkan oleh cinta?”
“Apakah s*ks merupakan konsekuensi dari nafsu, atau konsekuensi dari cinta?”
“Apakah s*ks membutuhkan cinta?”
“Apakah ada cinta tanpa nafsu dan s*ks?”

Bagiku (ini pendapat pribadi lho, silakan dikoreksi), cinta dan nafsu adalah dua hal yang berbeda, namun punya potensi untuk saling beririsan. Artinya, kita dapat menemukan cinta yang tanpa nafsu (dan s*ks, tentunya), tapi ada kalanya juga (bahkan seringnya) cinta dan nafsu beririsan, sehingga terwujudlah s*ks (halah, terwujudnya), atau at least hal-hal yang “mendekati” itu. Read more of this post