Atarimae!
September 30, 2012 10 Comments
Sejak dulu saya tidak pernah percaya ada cinta yang tak harus memiliki. Buat saya, cinta itu ibarat sungai, semakin dalam, maka semakin deras alirannya. Begitu juga dengan cinta, semakin hari semakin ingin bertemu, semakin dalam semakin derasnya terasa cinta itu hingga tak kuasa hati ini membendungnya. Maka tak ada jalan lain selain memilikinya, mencurahkan semua cinta itu padanya, sang tambatan hati.
Dialah Ega Dioni Putri, cewek yang cuek tapi manja, keras kepala tapi cukup peka, ceroboh tapi detil dan teliti. Dibilang cantik.. relatif sih, dibilang pinter dan soleh juga relatif. Walaupun plusminus-nya begitu rumit dan sulit dihitung, toh tidak butuh waktu lama sejak pertama kali saya ungkapkan rasa suka padanya, hingga saya meyakini, bismillah dialah partner hidup yang terbaik untuk saya dunia akhirat.
Namun jalan menuju pernikahan kami kebetulan kurang mulus. Ditentang habis-habisan oleh Ibu yang menganggap saya belum cukup umur, membuat saya sempat terjepit di antara dua kewajiban: berbakti pada Ibu, berbakti pada Ibu, berbakti pada Ibu, atau bersegera menunaikan janji pernikahan. 2 kali lebaran saya gagal mendapat restu, hingga konflik batin antara saya dan Ibu pun memuncak. Namun saya tetap percaya niat yang baik pasti akan diberi jalan, hingga akhirnya mukjizat itu datang di tahun ini. Ibu pun memberikan restunya, sebuah karunia terbesar dalam hidup saya.
Sebelumnya, saya tidak pernah mengucapkan “selamat menempuh hidup baru” buat pasangan yang baru menikah. “Atarimae!”, pikir saya, istilah orang Jepang untuk menggambarkan fenomena yang sangat lumrah terjadi, jadi tidak penting untuk dibahas. Di bayangan saya, “hidup baru” adalah tidur bersama, bangun bersama, makan bersama, juga jalan-jalan bersama. Jadi yang dulunya 1, tinggal dikali 2: stok makanan, stok di lemari baju, tagihan listrik, air, tiket kereta, pesawat ujung-ujungnya ya duit pengeluaran harus dikali dua.
Tapi hebatnya, banyak hal yang saya alami tidak sesuai dengan hukum dikali 2. Jangan-jangan inilah “Hidup Baru” yang sebenarnya. Pertama, memang benar nikah itu enaknya cuma sepertiga. Karena sisanya ueeeenak tueeenan (sensor). Kedua, ladang untuk beramal ibadah tambah luas berkali-kali lipat (ini juga sebagian kena sensor), rejeki pun berdatangan dari tempat yang tidak terduga-duga.
Dan ketiga, ini yang paling penting: tidak ada lagi yang namanya Ega, atau Aisar. Karena mulai saat ini yang ada hanya “Ega dan Aisar”, satu dalam satu kesatuan. Sehingga yang namanya sikap saling menghargai, saling mengerti, dan saling terbuka tidak penting lagi untuk dibahas, Atarimae! Saya pikir inilah esensi terbesar dalam pernikahan, sisanya akan kita hadapi bersama. Sekian
Comments